PENERAPAN METODE ”PROSES HIRARKI ANALITIK” DALAM EVALUASI PEMANFAATAN RUMAH SUSUN SEDERHANA (RUSUNA) SEWA DAN SEWA BELI DI DKI
PENDAHULUAN
Pembangunan Rusuna di DKI
Permasalahan dalam pembangunan Rusuna di DKI Jakarta muncul diakibatkan oleh adanya kendala – kendala seperti keterbatasan lahan, keterbatasan dana, daya beli masyarakat dan rendahnya minat swasta untuk investasi dalam pembangunan Rusuna. Permasalahan lainnya adalah dalam pemanfaatan Rusuna tejadi bias, dimana hal ini dapat terlihat dari banyaknya masyarakat yang tidak berhak atau bukan target group menikmati tinggal di Rusuna yang disubsidi oleh Pemerintah. Dari pra survey yang dilakukan ternyata telah terjadi pemindahan status kepemilikan Rusuna ke pemilik yang tidak berhak melalui proses di bawah tangan (illegal). Dengan memahami fenomena bias pemanfaatan Rusuna ini, maka dalam konteks Rusuna sebagai barang publik telah muncul fenomena apa yang dikatakan oleh William Dunn sebagai penumpang gratis (free rider problem), yaitu penggunaan barang publik pada harga yang lebih rendah dari harga dimana pada kenyataannya mereka mempunyai keinginan membeli.
Munculnya Free rider problem dalam pemanfaatan Rusuna menimbulkan kerugian, baik pada pihak Pemerintah ( Pemda ) maupun pada masyarakat. Kerugian pada Pemerintah yaitu subsidi Rusuna tidak efisien, karena tidak mengenai sasaran target group dan tujuan menyediakan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah tidak tercapai. Kerugian dari aspek pembangunan
TUJUAN
Tujuan evaluasi menurut Carol H. Weiss adalah untuk mengukur dampak suatu program terhadap tujuan-tujuan yang akan dicapai sebagai alat kontribusi bagi pembuatan keputusan tentang program berikutnya dan memperbaiki penyusunan program dimasa datang. Dalam tulisan evaluasi pemanfaatan Rusuna sewa dan sewa – beli di DKI Jakarta ini bertujuan untuk melakukan pengukuran manfaat Rusuna sewa dan sewa-beli terhadap tujuan yang ditetapkan guna menyediakan pilihan yang tepat bagi Pemda DKI Jakarta dalam pembangunan Rusuna.
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA DI DKI
Kebijakan Pembangunan Rumah Susun Sederhana di DKI Jakarta Program pembangunan Rusuna di DKI Jakarta sangat didukung oleh Pemda DKI Jakarta dengan berbagai kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh Pemda yang berhubungan dengan program pembangunan Rusuna yang semakin banyak. Beberapa diantaranya adalah Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No : 811 tahun 1993 tentang Rencana Strategis (Renstra) 1992 –1997 Pembangunan DKI Jakarta. Dalam sembilan butir Renstra yang dikeluarkan, program pembangunan Rusuna terdapat di dalamnya sebagai salah satu solusi upaya penurunan luas permukiman kumuh dan program perbaikan kampung.
METODE PROSES HIRARKI ANALITIK
Metode PHA ini dipandang sangat tepat dalam memecahkan berbagai persoalan yang ingin diketahui karena bersifat fleksibel dalam pemanfaatannya dan dapat digunakan untuk berbagai kepentingan penelitian. Sebagai suatu alat dalam penelitian, AHP mampu mengkuatifisir faktor-faktor yang selama ini sering diasumsikan sebagai faktor yang berada diluar model, padahal faktor-faktor yang menentukan dalam mendapatkan hasil yang diinginkan. Dengan demikian, maka dalam upaya mendapatkan model penelitian yang signifikan baik dalam disiplin ilmu perencanaan, sosial, ekonomi dan politik, model PHA ini dapat mewakili kepentingan dari berbagai disiplin tersebut dalam konteks penelitian yang ingin dilakukan karaktersiktik peralatan PHA yang komprehensif ini tentunya merupakan suatu jalan keluar yang tepat dalam mengatasi kendala yang selama ini dirasakan dalam pemodelan kuantitatif sehingga hasil-hasil penelitian yang dilakukan tertata secara kuantitatif dan menyeluruh serta dapat dipertanggungjawabkan. Namun tingkat signifikansi dari penelitian yang dilakukan harus didasari oleh teknis perhitungan yang tepat serta pemakaian peralatan PHA yang sesuai dengan tujuan penelitian.
Dalam tulisan ini dicoba pemakaian Metode PHA untuk mengevaluasi pemanfaatan Rumah Susun Sederhana di DKI
TEKNIS PERHITUNGAN PHA
Teknis perhitungan PHA selalu diawali dengan pembentukan hierarki sesuai dengan obyek yang ingin diteliti. Dengan pembentukan hierarki ini maka seluruh aspek yang terkait dengan penelitian yang hendak dilakukan dapat dimasukkan sebagai faktor-faktor yang menentukan dalam penelitian, sehingga penelitian yang hendak dilakukan memiliki tujuan yang jelas dengan obyek-obyek penelitian yang telah diketahui denagn baik. Hal terpenting dari penyusunan hierarki ini adalah wawasan yang luas dari seorang peneliti sesuai dengan obyek penelitiannya. Bila dalam pembentukan hierarki tidak dimiliki wawasan yang luas maka pembentukan hierarki akan merupakan permasalahan utama dalam kegagalan penelitian yang akan dilakukan. Dengan demikian dibutuhkan kemampuan akademis yang baik sesuai dengan penelitian yang hendak dilakukan serta intuisi yang tajam dari seorang peneliti, sehingga akan diperoleh hierarki yang tepat dengan penelitian.
Berdasarkan Saaty, Pembentukan hierarki tersebut adalah berupa diagram pohon yang sesuai dengan level hierarkinya dan merupakan derivative dari hirarki sebelumnya.
Hierarki yang terbentuk memiliki level-level yang memperlihatkan factor-faktor yang hendak diteliti. Pada prinsipnya dalam suatu bagan di atas terdapat banyak hierarki. Masing-masing hierarki yang ada pada bagan tersebut merupakan komponen-komponen yang terdiri dari faktor-faktor yang hendak diteliti. Semakin banyak komponen dan faktor-faktor yang masuk dalam penelitian, maka semakin banyaklah level yang terbentuk. Pada setiap hierarki, dilakukan prosedur perhitungan perbandingan berpasangan (pair wise). Dalam prosedur perhitungan perbandingan berpasangan yang dilakukan, setiap faktor dibandingkan satu sama lain secara konsisten dengan memanfaatkan skala pembanding yang jelas. Saaty memanfaatkan skala 0 – 9 untuk perbandingan satu faktor dengan faktor lain. Setiap level dari hierarki yang ada dilakukan perbandingan berpasangan, sehingga kepentingan ataupun preferensi dari satu faktor dengan faktor lain yang ada pada seluruh bagan akan diketahui. Dengan cara ini maka akan diketahui peran dari masing-masing faktor yang menjadi obyek dalam penelitian yang dilakukan.
Proses perhitungan yang dilakukan adalah perhitungan matriks. Dalam proses perhitungan yang dilakukan akan diperoleh nilai-nilai perbandingan, eigenvector dan tingkat konsistensi. Tahap – tahap perhitungan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Penilaian perbandingan berpasangan ( pair wise ) dan perhitungan eigenvector.
Untuk dapat melakukan perbandingan berpasangan (pair wise), terlebih dahulu perlu ditentukan skala penilaian perbandingannya. Berdasarkan skala penilaian ini dilakukan ini dilakukan perbandingan secara berpasangan antara faktor-faktor yang ada pada setiap hierarki. Penilaian yang dilakukan bersifat deduktif berdasarkan pertimbangan “kepakaran” – dalam arti pengetahuan dan pengalaman – penilai terhadap fenomena yang sedang dinilainya. Selanjutnya dari nilai – nilai perbandiangan yang telah diperoleh, dapat disusun matriks penilaian perbandinagn untuk setiap hierarki mulai dari hierarki level teratas sampai pada hierarki level terendah. Kemudian melalui pengolahan dengan
program computer akan dapat diperoleh eigenvector dari setiap hierarki yang komponen-komponennya merupakan eigen value dari masing-masing faktor pada setiap hierarki. Eigen Value dari masing-masing faktor langsung menunjukkan bobot dari faktor tersebut.
b. Uji Konsistensi Hasil Penilaian
Untuk melihat apakah proses penilaian berpasangan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan konsistensinya, maka perlu diukur tingkat konsistensinya. Untuk mengukur tingkat konsistensi ini menurut Saaty, dapat diperkirakan dari perbandingan nilai maksimum eigen value (λ maks) dengan jumlah faktor yang ada dalam matriks (n). Makin dekat nilai λ maks pada n, makin konsisten hasilnya. Selanjutnya untuk melihat
sejauh mana tingkat konsistensi ini dapat diberikan toleransi, dikemukakan konsep deviasi konsistensi. Deviasi konsistensi dinyatakan dengan rumus :
λ maks/ (n-1) = Indeks Konsistensi (IK)
Indeks konsistensi dari matriks kebalikan yang dihasilkan secara random dari skala 1 sampai 9 disebut sebagai Indeks random ( IR ). Berdasarkan oak Ridge National Laboratory, rata-rata Indeks Random untuk matriks orde 1 – 8 dengan menggunakan ukuran sample 100, diperoleh hubungan antara orde matriks ( OM ) dengan rata-rata indeks random ( IR ) sebagai berikut OM (1) IR (0,00); OM(2) IR (0,00); OM (3) IR (0,58); OM (4) IR (0.90); OM (5) IR (1,12); OM (6) IR 1,24); OM (7) IR (1,32); OM (8) IR (1,41).
Perbandingan antara indeks konsistensi (IK) dengan rata-rata indeks random (IR) untuk matriks dengan orde yang sama disebut Rasio Konsistensi (RK).
RK = IK/IR
Nilai Rasio Konsistensi yang lebih rendah atau sama dengan 0,10 merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Bila tahap-tahap tersebut di atas telah dilakukan dengan benar, maka proses perhitungan telah dapat dilakukan dengan baik. Tingkat skala kepentingan factor berdasarkan sumber Thomas L. Saaty, The Analytic Hyerarchy Process, Mc Graw-Hill, International Book Co, USA, 1850 : 54 adalah sebagai berikut :
· SKALA 1 : Sama penting (kedua factor tersebut memberi kontribusi yang sama penting terhadap tujuan tertentu).
· SKALA 3 : Relatif agak penting terhadap lainnya (Telah nyata, nampak pentingnya factor tersebut dibandikan dengan factor lainnya, tetapi tidak begitu meyakinkan)
· SKALA 5 :Perlu dan kuat kepentingannya (Jelas, nyata dan nampak dalam beberapa peristiwa menunjukkan bahwa factor tersebut lenih penting dari factor lainnya)
· SKALA 7 : Menyolok kepentingannya ( Jelas, nyata dan nampak dalam beberapa peristiwa menunjukkan bahwa factor tersebut lenih penting dari factor lainnya)
· SKALA 9 : Mutlak penting (Jelas, nyata dan nampak terbukti secara meyakinkan dari beberapa peristiwa menunjukkan bahwa factor tersebut sangat penting dalam tingkat pemufakatan paling tinggi)
· SKALA 2, 4, 6, 8 : Nilai tengah antara dua pertimbangan di atas yang berdekatan (Jika diperlukan suatu penilaian yang kompromistis atas kedua factor yang dipertimbangkan)
· SKALA Kebalikan dengan bilangan-bilangan diatas : Suatu faktor (i) mempunyai salah satu angka kepentingan di atas jika dibandingkan dengan faktor pasangan (j), maka faktor (j) mempunyai angka kebalikan dari angka tersebut jika dibandingkan faktor (i) (Suatu anggapan yang logis)
PERHITUNGAN PROSES HIRARKI ANALITIK
Pemilihan Kriteria Dan Pengukuran Kriteria Evaluasi
A. Kriteria Evaluasi
Peran Kriteria evaluasi sangat membantu dalam kegiatan analisis sebagai sub kegiatan evaluasi. Dalam analisis peran kriteria evaluasi sebagai pendekatan memperkirakan dimensi-dimensi tujuan kebijakan yang ingin dicapai. Weimer dan Vining, Misalnya memberi syarat mengenai pemilihan kriteria evaluasi yang baik sebagai berikut : “ A Good Criterion provider a basis for measuring progress to ward achieving a goal “. Atas pemahaman ini, serangkaian kriteria disajikan yang penyusunannya mempertimbangkan dan berdasarkan tujuan-tujuan kebijakan yang telah dijelaskan pada sub bab terdahulu.
B. Pengukuran Kriteria Evaluasi
Untuk memberikan dasar bagi evaluator dalam analisis pada kegiatan evaluasi, maka dalam hal ini akan disajikan pengukuran kriteria berupa klasifikasi kriteria. Pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran terhadap : Metode Proses Hirarki Analitik (PHA) dilakukan untuk memperoleh bobot masing-masing sub-kriteria dengan wawancara langsung dengan pedoman daftar Quisioner yang telah dipersiapkan. Dalam pembobotan ini data diambil dari para pegawai Kantor Kimpraswil. Untuk mendapatkan skor masing masing sub kriteria dilakukan survey dengan menyebarkan kuesioner langsung kelapangan dengan nilai pembobotan 1 untuk rendah, 2 untuk sedang, dan 3
untuk tinggi
GAMBAR HIRARKI ANALITIK PRIORITAS PEMANFAATAN RUSUNA SEWA DAN SEWA – BELI
LEVEL 1 (FOKUS) >> PEMANFAATAN RUSUNA SEWA DAN SEWA – BELI
LEVEL 2 (KRITERIS) >> PEMANFAATAN RUSUNA SEWA DAN SEWA-BELI DIBAGI MENJADI 3 YAITU : AKSESIBILITAS, KELAYAKAN, DAN EFEKTIFITAS
LEVEL 3 (SUB KRITERIA) >>
- AKSESIBILITAS TERDIRI DARI : Daya beli, Biaya sewa dan sewa beli, Biaya O&P, Target Group, Harga rusuna, Peluang memiliki.
- KELAYAKAN TERDIRI DARI : Kondisi bangunan, kondisi prasarana dan sarana, kondisi kesehatan lingkungan, aksesibilitas lokasi, tempat aktivitas social.
- EFEKTIFITAS TERDIRI DARI :Perbaikan ekonomi keluarga, kemampuan adaptasi, keinginan pindah, kepuasan penghuni, pengalihan hak, optimalisasi rusuna.
LEVEL 4 (ALTERNATIF) >> SEWA : KRITERIA AKSESIBITAS DAN KRITERIA EFEKTIFITAS
SEWA – BELI : KRITERIA AKSESIBITAS DAN KRITERIA EFEKTIFITAS
KRITERIA AKSESIBITAS ALTERNATIFNYA BISA SEWA DAN BISA SEWA – BELI
Hasil Perhitungan
Data yang didapat dari hasil wawancara diolah dengan program computer Proses Hirarki Analitik didapat hasil masing masing kriteria dan sub criteria. Penentuan skor akhir diawali dengan melakukan pembobotan pemanfaatan rusuna sewa dan sewa-beli di DKI
Dari perhitungan skor untuk sistim Rusuna Sewa lebih tinggi dari Rusuna Sewa-Beli yaitu 2,618 dan 1,907. Hal ini berarti untuk saat ini pemanfaatan Rusuna yang paling efektif untuk saat ini adalah dengan Rusuna Sewa atau disingkat Rusunawa.
PENUTUP
Dengan menggunakan Metoda Proses Hirarki Analitik yaitu dengan membandingkan secara empirik preferensi para pakar digabung dengan hasil survey lapangan didapat skor masing masing alternatif yang dapat digunakan untuk mengambil suatu keputusan kebijakan dalam pemanfaatan rusuna. Dalam penerapan Metoda Hirarki Analitik, terutama dalam penyusunan level hirarki, evaluator hendaknya menyusun level hirarki baik vertical maupun horizontal diupayakan mambuat criteria dan sub criteria yang dapat dipahami oleh responden. Evaluator harus aktif menjelaskan criteria-kriteria tersebut. Karena dalam penulisan ini hanya meneliti dampak system pemanfaatan rusuna dengan kondisi saat ini, maka diperlukan evaluasi yang terus menerus terhadap pemanfaatan rusuna dalam rangka antisipasi meningkatnya daya-beli dan kebutuhan masyarakat akan adanya rusuna sewa-beli. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah, Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah membangun Rumah Susun Sederhana (Rusuna) sebanyak 16.235 unit. Dalam pemanfaatannya telah diterapkan 6.667 unit rusuna sewa dan 9.568 unit rusuna sewa-beli (dapat dimiliki dengan angsuran). Kedua sistim diatas mempunyai kekurangan dan kelebihan yang membawa dampak kepada kelangsungan masyarakat berpengahasilan rendah untuk mendapatkan tempat tinggal. Untuk memilih system pemanfaatan yang paling efektif untuk masyarakat berpenghasilan rendah, dalam tulisan ini penulis mencoba untuk mengevaluasi dengan metoda “Proses Hirarki Analitik”. Hasil yang didapat dari hasil evaluasi adalah untuk saat ini pemanfaatan Rusuna di DKI Jakarta yang paling efektif adalah dengan sewa. Oleh sebab itu semua pembangunan Rusuna yang akan dibangun sebaiknya dengan sistim sewa.
